Sabtu, 12 April 2014

Capung



Seperti sebuah capung yang diterjang hujan lebat, aku lemah. Sayapku tak begitu kuat melawan air hujan yang datangnya keroyokan itu. Lalu capung betina lain menghampiriku, "Ayo kita menepi, kamu masih ingin tetap hidup bukan?".
Mungkin bagi manusia hujan ini tidak begitu menyakitkan jika menghujani tubuhnya. Tapi aku terlalu lemah, sehingga aku harus benar-benar menepi. Aku kemudian mengikuti capung yang tadi menghampiriku. Kami berdua menepi dibawah daun Tectona Grandis. Disana aku bertemu ulat yang sedang tertidur dibawah daun, sepertinya dia tidak menghiraukan dinginnya temperatur angin. Aku bersandar pada daun satunya. Melepas lelahku.
“Hih!” Sayapku jadi rusak terkena hujan tadi. Aku sebal kenapa hujan datangnya begitu tiba-tiba dan pergi tanpa permisi seenaknya. "Jangan begitu, kalau tidak ada hujan, bukankah kamu tidak akan pernah melihat indahnya pelangi?" sahut capung teman baruku tadi. Aku baru paham. Sebenci apapun kamu terhadap sesuatu jangan pernah membencinya seumur hidup, karena pasti ada keindahan yang lain yang akan kau temukan. Hujan kemudian berangsur reda, wow "Pelangi" pekikku. Sang ulat sampai terbangun mendengar suaraku. Dan kemudian akupun kembali terbang hati-hati sambil tersenyum pada pelangi :)